Pada tahun 2017, Indonesia dikejutkan oleh kasus penyebaran
ujaran kebencian di media sosial yang melibatkan Ropi Yatsman, seorang pria berusia 36 tahun asal Sumatera Barat. Lewat akun Facebook bernama Agus Hermawan dan Yasmen Ropi, Ropi mengunggah berbagai konten yang berisi penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta pejabat lainnya, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Di samping itu, ia juga mengelola grup publik Facebook ‘Keranda Jokowi-Ahok’ yang sering memposting konten bernada kebencian.
Proses Hukum dan Vonis
Karena perbuatannya, Ropi ditangkap oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada 27 Februari 2017 di Padang-Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dikenakan Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b angka 1 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 24 Juli 2017, Pengadilan Negeri Lubuk Basung menjatuhkan hukuman penjara selama 15 bulan kepada Ropi.
Implikasi Terhadap Kebebasan Berpendapat
Kasus ini memunculkan perdebatan mengenai batasan kebebasan berpendapat di dunia digital. Di satu sisi, penyebaran konten yang menghina pejabat publik dapat dianggap sebagai bentuk kritik atau ekspresi pendapat. Namun, jika dilihat dari sudut pandang lain, penyebaran ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA dan dapat menimbulkan perpecahan sosial seharusnya ditindak tegas.
Jurnal UNS
Perkembangan Tindak Pidana Siber di Indonesia
Kasus Ropi Yatsman juga menyoroti pentingnya penegakan hukum terhadap tindak pidana siber di Indonesia. Sebagai respons terhadap meningkatnya kejahatan dunia maya, pada tahun 2017 Polri membentuk Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Unit ini memiliki tugas untuk menangani berbagai bentuk kejahatan siber, termasuk penyebaran ujaran kebencian dan konten negatif lainnya.
